Selasa, 28 April 2009

4 Lilin

Harapanlah yang membuat orang untuk lebih baik lagi, dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi jangan padamkan semangat dan harapanmu untuk hidup yang lebih baik

Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka

Yang pertama berkata: “Aku adalah keindahan.” “Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”

Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Yang kedua berkata: “Aku adalah Kasih Sayang.

“Sayang aku tak berguna lagi.” “Manusia tak mau mengenalku,untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: "Aku adalah Cinta" “Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala.” “Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna.” “Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya. “Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga.

Tanpa terduga…

Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Ekh apa yang terjadi?? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”

Lalu ia mengangis tersedu-sedu.
Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata: Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya:

Akulah "H A R A P A N"

Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.

Apa yang tidak pernah mati hanyalah H A R A P A N. yang ada dalam hati kita….dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Keindahan, Kasih Sayang dan Cinta dengan HARAPAN-Nya…

Minggu, 26 April 2009

Keluarga Semut

Huh ... lelahnya aku seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi, sementara kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai. "aaauww ... brengsek!" gumamku Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam.
"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa ia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku. Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "addduuhhh!" Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan gigitannya pun lebih sakit.
"heeeh, berani sekali makhluk kecil ini," gerutuku kesal. Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya.
"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku. Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya.
Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya.
Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur.
Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggil-manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan itu.
Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku. Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang.
Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit.
Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga. Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur.
Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima.
Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang tangisan-tangisan anak-anak dan istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah.
Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.
Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki.
Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka. Wallahu a'lam bishshowab (Bayu Gautama - Eramuslim.com)

Rabu, 22 April 2009

Lepaskan Kepalanmu

Di suatu hutan hiduplah sekelompok monyet. Pada suatu hari, tatkala mereka tengah bermain, tampak oleh mereka sebuah toples kaca berleher panjang dan sempit yang bagian bawahnya tertanam di tanah. Di dasar toples itu ada kacang yang sudah dibubuhi dengan aroma yang disukai monyet. Rupanya toples itu adalah perangkap yang ditaruh di sana oleh seorang pemburu.

Salah seekor monyet muda mendekat dan memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil kacang-kacang tersebut. Akan tetapi tangannya yang terkepal menggenggam kacang tidak dapat dikeluarkan dari sana karena kepalan tangannya lebih besar daripada ukuran leher toples itu. Monyet ini meronta-ronta untuk mengeluarkan tangannya itu, namun tetap saja gagal.

Seekor monyet tua menasihati monyet muda itu, "Lepaskanlah kepalanmu atas kacang-kacang itu! Engkau akan bebas dengan mudah!"

Namun monyet muda itu tidak mengindahkan anjuran tersebut, tetap saja ia bersikeras menggenggam kacang itu. Beberapa saat kemudian, sang pemburu datang dari kejauhan. Sang monyet tua kembali meneriakkan nasihatnya, "Lepaskanlah kepalanmu sekarang juga agar engkau bebas!"

Monyet muda itu ketakutan, namun tetap saja ia bersikeras untuk mengambil kacang itu. Akhirnya, ia tertangkap oleh sang pemburu.

Demikianlah, kadang kita juga sering mencengkeram dan tidak rela melepaskan hal-hal yang sepatutnya kita lepaskan: kemarahan, kebencian, iri hati, ketamakan, dan sebagainya. Apabila kita tetap tak bersedia melepas, tatkala kematian datang "menangkap" kita, semuanya akan terlambat sudah. Bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lampau, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah dunia akan menjadi lebih indah jika kita bisa melepaskan "kepalan" kita dan membagi kebahagiaan dengan orang lain?

Senin, 20 April 2009

Karakter Kita dan Monyet

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh para profesor , ada 2 ekor monyet yang dimasukkan ke dalam satu ruangan kosong secara bersama-sama. Kita sebut saja monyet tersebut Monyet A dan B. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah tiang, dan diatas tiang tersebut nampak beberapa pisang yang sudah matang. Apa yang akan dilakukan oleh 2 monyet tersebut menurut Anda?Setelah membiasakan diri dengan keadaan lingkungan di dalam ruangan tersebut, mereka mulai mencoba meraih pisang-pisang tersebut.

Monyet A yangmula-mula mencoba mendaki tiang. Begitu monyet A berada di tengah tiang, sang profesor menyemprotkan air kepadanya, sehingga terpeleset dan jatuh. Monyet A mencoba lagi, dan disemprot, jatuh lagi, demikian berkali-kali sampai akhirnya monyet A menyerah. Giliran berikutnya monyet B yang mencoba, mengalami kejadian serupa, dan akhirnya menyerah pula.Berikutnya ke dalam ruangan dimasukkan monyet C.

Yang menarik adalah, para profesor tidak akan lagi menyemprot para monyet jika mereka naik. Begitu si monyet C mulai menyentuh tiang, dia langsung ditarik oleh monyet A dan B. Mereka berusaha mencegah, agar monyet C tidak mengalami `kesialan' seperti mereka. Karena dicegah terus dan diberi nasehat tentang bahayanya bila mencoba memanjat keatas, monyet C akhirnya takut juga dan tidak pernah memanjat lagi.Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh para profesor adalah mengeluarkan monyet A dan B, serta memasukkan monyet D dan E.

Sama seperti monyet-monyet sebelumnya, monyet D dan E juga tertarik dengan pisang di atas tiang dan mencoba memanjatnya. Monyet C secara spontan langsung mencegah keduanya agar tidak naik. "Hai, mengapa kami tidak boleh naik ?" protes keduanya"."Ada teman-teman yang memberitahu saya, bahwa naik ke atas itu berbahaya. Saya juga tidak tahu, ada apa di atas, tapi lebih baik cari aman saja, jangan ke atas deh," jelas monyet C.Monyet D percaya dan tidak berani naik, tapi tidak demikian dengan monyet E yang memang bandel.

"Saya ingin tahu, bahaya seperti apa sih, yang ada di atas? Dan kalau ada bahaya, masak iya saya tidak bisa menghindarinya?" tegas monyet E. Walaupun sudah dicegah oleh monyet C dan D, monyet E nekad naik. Dan karena memang sudah tidak disemprot lagi, monyet E bisa meraih pisang yang d iinginkannya.Manakah diantara karakter diatas yang menggambarkan tingkah laku Anda saat ini?Karakter A dan B adalah orang yang pernah melakukan sesuatu, dan gagal.

Karena itu mereka kapok, tidak akan mengulanginya lagi, dan berusaha mengajarkan ke orang lain tentang kegagalan tersebut. Mereka tidak ingin orang lain juga gagal seperti mereka. Karakter C dan D, adalah orang yang menerima petunjuk dari orang lain, hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan, dan mereka mematuhinya tanpa berani mencobanya sendiri.

Karakter E adalah tipe orang yang tidak mudah percaya dengan sesuatu, sebelum mereka mencobanya sendiri. Mereka juga berani menentang arus dan menanggung resiko asalkan bisa mencapai keinginan mereka.Pisang dalam cerita di atas menggambarkan impian kita. Setiap orang dalam hidup ini mempunyai impian yang tinggi tentang masa depannya.

Namun sayangnya, banyak sekali hal-hal yang terjadi di sekitar kita, yang menyebabkan impian kita terkubur. Orang-orang dengan karakter ABCD akan mengatakan kepada kita hal-hal seperti ini, "Sudahlah, jangan melakukan pekerjaan yang sia-sia seperti itu. Percuma. Saya dulu sudah pernah melakukannya berkali-kali dan gagal. Sebagai seorang teman yang baik, saya tidak mau kamu gagal seperti saya," atau mungkin kalimat, "Kamu mau gagal seperti si X? lebih baik lakukan sesuatu yang pasti-pasti saja."Bukankah hal-hal seperti itu yang sering kita dengar sehari-hari? Orang dengan karakter E akan selalu berpikir optimis dalam menjalankan sesuatu.

"Kalaupun orang lain gagal melakukan sesuatu, belum tentu saya juga akan gagal" adalah kekuatan yang selalu memompa motivasinya. Dan kegagalan orang lain dapat dipelajari dan dijadikan batu loncatan untuk melangkah lebih baik, bukannya dijadikan suatu ketakutan.Nah, saya akan memberikan satu ilustrasi lagi. Saya akan membawa Anda ke tahun 70-an. Apa yang akan Anda lakukan, bila suatu hari ada seorang mahasiswa bercelana jeans, kacamata tebal, bertampang culun, bajunya lusuh, datang menemui Anda dan berkata "Saya punya suatu produk yang bagus, tapi saya tidak punya modal. Mau nggak pinjamin saya modal 100 dollar ?

Kalau produk ini sukses, kita berdua bakal jadi orang paling kaya di dunia lho".Hampir semua akan menghina dan mentertawakan mahasiswa tsb, bahkan mungkin menganggapnya gila.Berapa orang yang akan menjawab "Wow, bagus sekali, coba jelaskan apa rencana Anda, agar kita bisa sama-sama kaya ?" Mungkin satu orang di antara sejuta, mungkin juga tidak ada. Bagaimana kalau saya katakan bahwa mahasiswa tersebut adalah Bill Gates, yang kini sudah mencapai impiannya menjadi orang terkaya di dunia? Bukankah itu dulu yang dilakukan Bill Gates pada awal karirnya ?Dikelilingi orang tipe ABCD, ditolak, dilecehkan, dan berbagai macam hinaan lainnya. Untungnya, Bill Gates termasuk orang dengan karakter E. Dan dengan pengorbanan dan kerja keras, dia berhasil meraih impiannya.(resonansi Suara Merdeka)

Selasa, 14 April 2009

Cerita Sang Tikus

Seekor tikus mengintip di balik celah di tembok untuk mengamati sang petani dan isterinya, saat membuka sebuah bungkusan. Ada makanan pikirnya? Tapi, dia terkejut sekali, ternyata bungkusan itu berisi perangkap tikus. Lari kembali ke ladang pertanian itu, tikus itu menjerit memberi peringatan; "Awas, ada perangkap tikus di dalam rumah, hati-hati, ada perangkap tikus di dalam rumah!"
Sang ayam dengan tenang berkokok dan sambil tetap menggaruki tanah, mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya maafkan aku Pak Tikus. Aku tahu ini memang masalah besar bagi kamu, tapi buat aku secara pribadi tak ada masalahnya. Jadi jangan buat aku sakit kepala-lah."

Tikus berbalik dan pergi menuju sang kambing. Katanya, "Ada perangkap tikus di dalam rumah, sebuah perangkap tikus di rumah!"
"Wah, aku menyesal dengar khabar ini," si kambing menghibur dengan penuh simpati, "Tetapi tak ada sesuatu pun yang bisa kulakukan kecuali berdoa. Yakinlah, kamu sentiasa ada dalam doadoaku!" Tikus kemudian berbelok menuju si lembu. "Oh? sebuah perangkap tikus? Jadi saya dalam bahaya besar ya?" kata lembu itu sambil ketawa, berleleran liur.

Jadi tikus itu kembalilah ke rumah, dengan kepala tertunduk dan merasa begitu patah hati, kesal dan sedih, terpaksa menghadapi perangkap tikus itu sendirian. Ia merasa sungguh-sungguh sendiri.

Malam tiba, dan terdengar suara bergema di seluruh rumah, seperti bunyi perangkap tikus yang berjaya menangkap mangsa. Isteri petani berlari pergi melihat apa yang terperangkap. Di dalam kegelapan itu dia tak bisa melihat bahwa yang terjebak itu adalah seekor ular berbisa. Ular itu sempat mematuk tangan isteri petani itu. Petani itu bergegas membawanya ke rumah sakit.
Si istri kembali ke rumah dengan tubuh menggigil, demam. Dan, sudah menjadi kebiasaan, setiap orang sakit demam, obat pertama adalah memberikan sup ayam segar yang hangat. Petani itu pun mengasah pisaunya, dan pergi ke kandang, mencari ayam untuk bahan supnya.

Tapi, bisa itu sungguh jahat, si istri tak langsung sembuh. Banyak tetangga yang datang membesuk, dan tamu pun tumpah ruah ke rumahnya. Ia pun harus menyiapkan makanan, dan terpaksa, kambing di kandang dia jadikan gulai. Tapi, itu tak cukup, bisa itu tak dapat taklukkan. Si istri mati, dan berpuluh orang datang untuk mengurus pemakaman, juga selamatan. Tak ada cara lain, lembu di kandang pun dijadikan panganan, untuk puluhan pelayat dan peserta selamatan.

Kawan, apabila kamu dengar ada seseorang yang menghadapi masalah dan kamu pikir itu tidak ada kaitannya dengan kamu, ingatlah bahwa apabila ada "perangkap tikus" di dalam rumah, seluruh "ladang pertanian'"ikut menanggung risikonya. Sikap mementingkan diri sendiri lebih banyak keburukan dari baiknya. (resonansi Suara Merdeka)

Senin, 13 April 2009

Ular Tangga

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk di sana. Seorang wanita empat puluhan duduk dalam kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku yang telah ribuan kali kulewati. Puluhan tahun yang lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu sudah ada disana. Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang kelontong.

Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan wanita itu datang menghampiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah Ananda dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah. Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca, saya tak lagi menemui wanita itu.

Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang sama di dalamnya. Bedanya, kali ini ia tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis. Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.

Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan. Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang keras. Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap bertahan di sana?

Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.

Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih surat kabar dan mulai membaca-baca. Nanda, keponakan saya itu, kemudian berkata, "Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai-selesai."

Saya tersadar.

Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.

Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Dan disitulah nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu.

Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu.
Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.

Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yang optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan. ("Sang Dadu" oleh Edy Pratolo)

(Sumber : Resonansi Suara Merdeka)

Rabu, 08 April 2009

Beginilah jika bersaudara

Dua orang bersaudara bekerja bersama menggarap ladang milik keluarga mereka. Yang seorang, si kakak, telah menikah, dan memiliki keluarga yang cukup besar. Si adik masih lajang, dan berencana tidak menikah. Ketika musim panen tiba, mereka selalu membagi hasil sama rata. Selalu begitu.

Pada suatu hari, si adik yang masih lajang itu berpikir, "Tidak adil jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku masih lajang dan kebutuhanku hanya sedikit." Maka, demi si kakak, setiap malam, dia akan mengambil sekarung padi miliknya, dan dengan diam-diam, meletakkan karung itu di lumbung milik kakaknya. Sekarung itu ia anggap cukuplah untuk mengurangi beban si kakak dan keluarganya.

Sementara itu, si kakak yang telah menikah pun merasa gelisah akan nasib adiknya. Ia berpikir, "Tidak adil jika kami selalu membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku punya istri dan anak-anak yang akan mampu merawatku kelak ketika tua. Sedangkan adikku, tak punya siapa-siapa, tak akan ada yang peduli jika nanti dia tua dan miskin. Ia berhak mendapatkan hasil lebih daripada aku."

Karena itu, setiap malam, secara diam-diam, ia pun mengambil sekarung padi dari lumbungnya, dan memasukkan ke lumbung mulik adik satu-satunya itu. Ia berharap, satu karung itu dapatlah mengurangi beban adiknya, kelak.

Begitulah, selama bertahun-tahun kedua bersaudara itu saling menyimpan rahasia. Sementara padi di lumbung keduanya tak pernah berubah jumlah. Sampai..., suatu malam, keduanya bertemu, ketika sedang memindahkan satu karung ke maring-masing lumbung saudaranya. Di saat itulah mereka sadar, dan saling menangis, berpelukan. Mereka tahu, dalam diam, ada cinta yang sangat dalam yang selama ini menjaga persaudaraan mereka. Ada harta, yang justru menjadi perekat cinta, bukan perusak. Demikianlah jika bersaudara. (CN02)
(Resonansi Suara Merdeka)

Mencuri Impian

Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. KepAndaiannya menari sangat menonjol dibanding dengan rekan-rekannya, sehingga dia seringkali menjadi juara di berbagai perlombaan. Dia berpikir, dengan apa yang dimilikinya saat ini, suatu saat apabila dewasa nanti dia ingin menja di penari kelas dunia.

Dia membayangkan dirinya menari di Rusia, Cina, Amerika, Jepang, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepuk tangan kepadanya.

Suatu hari, dikotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat,dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya.

Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya, "Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah Anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari ? Saya ingin tahu pendapat Anda tentang tarian saya".

"Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit",jawab sang pakar.
Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar.Si gadis langsung berlari keluar. Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya, dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan lagi menari.

Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan.

Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu. Nampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung. Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab. Si ibu bertanya, "Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan Anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga Anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah kata pun?"

"Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-2 berhenti dari dunia tari", jawab sang pakar.

Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar. "Ini tidak adil", seru si ibu muda. "Sikap Anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa Anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!"

Si pakar menjawab lagi dengan tenang "Tidak... Tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. Anda tidak harus minum satu barel anggur untuk membuktikan anggur itu nikmat. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton Anda 10 menit untuk membuktikan tarian Anda bagus. Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan Anda, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap Anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi Anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan satu hal yang perlu Anda camkan, bahwa Anda mestinya fokus pada impian Anda, bukan pada apa yang saya katakan atau saya lakukan!

"Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua, satu sisi memotivasimu, satu sisi melemahkanmu. Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada seseorang yang sedang tumbuh hanya akan membuat dirinya puas pada pertumbuhannya itu. Saya justru lebih suka mengacuhkanmu agar hal itu bisa melecutmu berbuat lebih baik lagi. Tidak pantas Anda meminta pujian dari orang lain.

"Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. SeAndainya Anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini Anda sudah menjadi penari kelas dunia. Mungkin Anda sakit hati pada saat itu, tapi sakit hati itu akan segera hilang begitu Anda mengayunkan langkah berlatih kembali. Tapi, sakit hati Anda karena penyesalan ini hari, yah, tidak akan pernah hilang selamanya...."

(Resonasi Suara Merdeka)

Selasa, 07 April 2009

Memecat Pengemis

Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, kuberi, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis, barulah aku berhenti dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian.

Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah, tergantung persediaan.

Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanan di Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah.

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?"

"Betul Bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja dan lain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.

***

Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya --dengan tetap membayar-- ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.

(sumber: resonansi suaramerdekaonline)

Kebahagiaan seekor burung adalah kebebasan

Bebas kapan saja ia mau terbang, bebas kemana ia mau menuju. Jika ada lagu yang menggambarkan penderitaan si burung meski diberikan sangkar yang yang terbuat dari emas, sangatlah tepat, karena makna kebahagiaan bagi seekor burung, bukanlah emas maupun permata, tetapi TERBANG bebas ke angkasa.

Namun burung tidak akan bias terbang jika kedua sayapnya patah ataupun mengalami cedera. Menjaga sayap adalah keharusan baginya agar ia bisa terus mewujudkan keinginannya untuk menjelajahi dunia dan meraih mimpi- mimpinya.

Kitapun menginginkan hal yang sama dengan si burung tadi, meski esensinya berbeda. Keinginan untuk mewujudkan mimpi- mimpi kita, untuk menjadi sukses, kaya, punya keluarga yang menyenangkan, bahagia taat beribadah, dan di akhirat masuk surga serta mendapatkan ridho Allah SWT.

Mewujudkan hal itu tidaklah mustahil meski mungkin harus penuh perjuangan. Seperti halnya burung yang akan menjelajah angkasa dituntut mempersiapkan segalanya, mulai dari pengenalan medan, kesiapan fisik dan mental, memahami musuh yang akan mengancam jiwanya, teman seperjalanan yang mukin mengasyikkan atau justru sebaliknya, logistic tempat ia mendarat untuk mencari sarapan, makan siang dan makan malam, pohan dan gua yang aman untuk beristirahat, serta tujuan akhir dimana ia akan beristri dan akan memiliki banyak keturunan, lalu ia pun siap- siap untuk meninggalkan dunia ini dan akan mati.

Sebagai manusia dan makhluk yang dijadikan sempurna oleh Allah SWT. Potensi akal dan naluri yang ada pada diri kita mengajarkan tentang semua hal yang berkaitan dengan kesuksesan dan kebahagiaan.

Kita juga harus mempersiapkan bekal fisik dan mental. Fisik dan mental yang kuat sangat diperlukan dalam menggapai kesuksesan hidup, karena kesuksesan bukanlah hadiah dari seseorang melainkan buah dari pekerjaan panjang yang kita lakukan. Jika kondisi fisik terlebih mental kita gampang nge-drop, akan sangat sulit untuk berkompetisi dengan waktu.

Qowwiyul Jism atau kuatnya fisik akan menunjang aktifitas dan kegiatan yang diagendakan dalam menuju kesuksesan. Karena waktu yang tersedia tidak memadai dengan se’abrek’ kegiatan yang ada. Sementara mentalitas atau Irodatul Qowwiyah merupakan bahan bakar utama yang menstimulasi fisik untuk bertindak, berbuat dan mewujudkan impian – impian yang ada.

Pemahaman akan kompetitor yang sehat atau tidak, merupakan sebuah keharusan agar kita semaki kreatif dan mawas diri. Berkreasi dalam melahirkan ide –ide yang segar, tindakan yang benar dan juga sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang sudah ada. Sementara mawas diri, merupakan self cotrolling agar kita lebih berhati – hati dalam berfikir, bersikap dan bertindak, karena kecerobohan akan mengantarkan pelakunya kepada jurang kegagalan.

Carilah partner atau teman yang baik dalam menjalani kehidupan, karena keberadaan mereka akan memberikan suasana segar dan meringankan sedikit beban yang kita hadapi. Karena teman yang baik bisa menjadi tempat berbagi cerita, penghibur dikala duka dan motivator saat semangat menjadi ‘kendor’.

Bayangan tentang kebaikan seorang teman merupakan obat mujarap untuk mengatasi kelesuan, terkadang hanya memandangi fotonya kita memperoleh energi yang luar biasa. Barang kali sesekali kita meluangkan waktu untuk liburan bareng, pulang ke kampong halaman misalnya, mungkin dengan cara itu ikatan batin akan menjadi lebih kuat dan abadi.

Masalah pasti ada, namun jika masing – masing selalu berfikir positif, insya Allah semua akan bisa diatasi dengan baik.

Menggapai sukses, berarti juga mempunyai bekal, dan bekal itu ada dua, Dzahir dan Bathin. Bahkan Imam syafi’i mengatakan diantara syarat menuntut ilmu adalah Zaka’un wa Dirhamun. Kecerdasan dan juga modal. Artinya sukses tidak cukup dengan memiliki mimpi. Ia harus ditopang dengan modal, seberapapun itu.

Tetapi jangan khawatir dengan ‘permodalan’. Biasanya konsep yang jelas, semangat yang kokoh, serta kemauan yang keras dan tidak lupa berdo’a serta menggunakan energi ilahiah sebagai medan magnet kesuksesan, akan memancing para investor untuk melakukan kerja sama kepada kita dalam menggoalkan maksud dan tujuan yang sama, yakni sama – sama untung dan sama – sama memperoleh keberkahan hidup.

Istri dan keluarga adalah faktor utama yang menunjang kesuksesan. Untuk itu siapapun kita – untuk sukses – harus menjaga intensitas komunikasi yang sehat dengan keluarga.

Tidak boleh diabaikan, senyuman kecil istri di pagi hari adalah gelombang elektrik yang menyalakan mesin kehidupan kita selama 12 jam di kantor ataupun di luar rumah, tapi senyuman itu teramat mahal untuk kita dapatkan jika komunikasi dengannya tidak berjalan baik.

Kehidupan yang bahagia di dalam rumah dengan sendirinya membias dalam kehidupan di luarnya. Rasa percaya diri akan muncul, wibawa, dan tidak di pandang sebelah mata, karena memang kita dihargai dan mampu menghargai orang lain, sebabnya sederhana karena ada cinta istri dan keluarga yang selalu menemani di mana pun kita berada.

Dian tersenyum gembira. Selama ini yang ada diwajahnya hanyalah kesusahan. Ia seorang karyawan yang di PHK dengan pesangon yang tidak seberapa. Santi seorang istri yang sabar. Ia selalu memberikan motivasi kepada Dian bahwa PHK bukan berarti akhir dari kehidupannya. Santi mengajak Dian untuk membuka lapangan usaha kecil – kecilan dengan sisa gaji dan pesangon yang ada.

Semula Dian bingung usaha apa yang bisa dia lakukan. Santi mengatakan bahwa selama ini suaminya telah dikenal semua teman dan tetangganya, paling enak kalo masak nasi goreng, “Kenapa ayah tidak mencobanya!” ucap Santi memberikan dukungan kepada Dian.

Akhirnya diapun mencoba mulai usaha berdagang nasi goreng, ia cari pangkalan yang cukup strategis, ditemani dengan Santi ia membuka usahanya. Kegigihan Santi dan senyuman yang senantiasa terlihat di wajahnya memberikan semangat yang luar biasa kepada Dian.

Hanya dalam waktu satu setengah tahun Dian sudah memiliki 5 karyawan dengan 3 pangkalan baru sebagi cabang nasi goreng miliknya. Kini Dian bisa menikmati jadi pengusaha nasi goreng. “Terimakasih Santi, istri, sahabat, sekaligus orang yang mendorongku mendapatkan sukses seperti ini.” Ujarnya bahagia.

Dian dan Santi adalah gambaran manusia – manusia bermental satria yang berjuang dengan gagah, tanpa lelah, tanpa kata menyerah. Dalam kamus mereka hanyalah berbuat dengan benar.

Lencana Facebook

Motifasi

Sesuatu yang indah adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada orang lain....