Kamis, 26 Maret 2009

Ulat Bulu

Ulat Bulu . .. mungkin bagi kita adalah seekor binatang yang amat menjijikkan. Bahkan tak sedikit orang yang taku t, karena memang bulu bulunya beracun, yang apabila kena kulit akan berakibat gatal-gatal. Dan memang dengan cara demikianlah ulat bulu yang tegolong binatang tanpa tulang belakang dan sangat lunak itu mempertahankan hidupnya dari segala ancaman.

Namun, kalau kita perhatikan siklus hidup ulat bulu... masa hidupnya tidaklah lama...Karena beberapa minggu kemudian, setelah makan daun atau bunga.. sang ulat bulu kemudian membalut dirinya dengan kain kasa yang tebal hingga... terbentuklah sebuah kepompong...

Dan sangat menakjubkan... setelah beberapa lama ketika ulat bulu keluar dari kepompongnya... wujudnya telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang sangat indah..Bentuknyapun sangat lain dari wujud semulanya..Ulat Bulu yang telah berbentuk kupu-kupu.. terbang kesana kemari memancarkan aura keindahan warna yang sangat menyedapkan pandangan mata...Padahal sebelumnya ia hanya bisa merayap, makan... dan terus makan...

Disisi lain... sang pohon yang merupakan tempat dimana ulat bulu hidup...sebagai induk semang koloni ulat bulu itu... seakan akan tiada pernah mengeluh... ia merelakan dirinya menjadi santapan utama bagi ulat bulu.. dan bahkan tidak sedikit dahan dan ranting...digunakan sang ulat sebagai sarang hingga daunnya digulung menjadi selimut panjang pada fase kepompong...

Namun begitu....., saat ulat bulu telah berubah menjadi seekor kupu-kupu... dapat kita perhatikan... sang kupu-kupu tak henti-hentinya selalu hinggap dari bunga satu ke bunga yang lainnya.. menari nari.. diatas serbuk sari bunga yang mulai mekar...merekah dengan bau yang sedap mengalun madu..

Kenapa kupu kupu melakukan tarian dinamis dan romantis itu....? ternyata... itulah tanda terimakasih sang kupu untuk membalas segala nikamat makanan dan tumpangan hidup yang selama ini ia rasakan dari sang pohon semasa menjadi ulat dan kepompong. Tarian dinamis itu, membawa serbuk sari jantan dan membuakannya ke serbuk sari betina yang ia sebar ke seluruh bunga... Dengan menjadi perantara serbuk sari untuk membuahi bunga betina hingga tumbuh benih buah yang sangat diinginkan manusia, dan sang pohon bisa meregenerasi... dan itulah bentuk balas budi sang ulat bulu...

Sahabat....
Semasa baru lahir hingga remaja... kita senantiasa bergelayut dan meminta makan, minum serta menumpang perlindungan pada orang tua kita.. Tanpa pamrih keduanya memberikan segala kasih sayang dan perlindungan pada diri kita, sebagaimana sang ulat bulu yang terus menerus meminta pada sang pohon.

Disaat bayi... kita sangat lemah bahkan kulit terasa gembur dan rentan terhadap penyakit.. namun berkat selimut perlindungan dan bimbingan orang tua kita..kini kita dapat merangkak pelan namun pasti, bahkan akhirnya dapat berlari kesana kemari... berkarier... menyandang gelar Insinyur... doktor... dan sederet titel .... menjadi seorang pejabat.....Namun aneh.... kita kadang tidak bisa berbuat seperti kupu-kupu... yang berusaha membalas segala jasa penolong utama kita..Tapi justru.. seringkali masa bodoh...melakukan sikap kamuflase didepan orang tua...berkata ah... orang tua ketinggalan jaman...kurang gaul... dan kalimat-kalimat lain yang kurang pantas disebut... atau bahkan tidak jarang 'membuang" orang tua dalam asuhan panti jompo.

Sahabat...
Jika ulat bulu yang 'menjijikkan' saja mampu membalas budi terhadap pohon sang pelindung... kenapa kita tidak... Apakah karena faktor 'gengsi' dan kepentingan dunia yang jauh dari syariat... menghalangi kita untuk 'bermetamorfosa' menjadi hidup yang lebih dekat dengan Tuhan....Semoga Tuhan senantiasa melindungi dan menyayangi orang tua kita... Amiin

Kamis, 19 Maret 2009

BERAPA LAMA KITA DIKUBUR ?

Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di atas jalanan menyeberangi kawasan lampu merah Karet.

Baju merahnya yg Kebesaran melambai Lambai di tiup angin. Tangan kanannya memegang Es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram Ikatan sabuk celana ayahnya.

Yani dan Ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak ke kanan & kemudian duduk Di atas seonggok nisan "Hj Rajawali binti Muhammad 19-10-1915: 20- 01-1965"

"Nak, ini kubur nenekmu mari Kita berdo'a untuk nenekmu" Yani melihat wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya yg mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia mendengarkan ayahnya berdo'a untuk Neneknya...

"Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya Yah." Ayahnya mengangguk sembari tersenyum, sembari memandang pusara Ibu-nya.

"Hmm, berarti nenek sudah meninggal 42 tahun ya Yah..." Kata Yani berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung. "Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 42 tahun ... "

Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana . Di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut "Muhammad Zaini: 19-02-1882 : 30-01-1910"

"Hmm.. Kalau yang itu sudah meninggal 106 tahun yang lalu ya Yah", jarinya menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya. "Memangnya kenapa ndhuk ?" kata sang ayah menatap teduh mata anaknya. "Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa dineraka" kata Yani sambil meminta persetujuan ayahnya. "Iya kan yah?"

Ayahnya tersenyum, "Lalu?"
"Iya .. Kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 42 tahun dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 42 tahun nenek senang dikubur .... Ya nggak yah?" mata Yani berbinar karena bisa menjelaskan kepada Ayahnya pendapatnya.

Ayahnya tersenyum, namun sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya cemas ..... "Iya nak, kamu pintar," kata ayahnya pendek.

Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah Di atas sajadahnya, memikirkan apa yang dikatakan anaknya... 42 tahun hingga sekarang... kalau kiamat datang 100 tahun lagi...142 tahun disiksa .. atau bahagia dikubur .... Lalu Ia menunduk ... Meneteskan air mata...

Kalau Ia meninggal .. Lalu banyak dosanya ...lalu kiamat masih 1000 tahun lagi berarti Ia akan disiksa 1000 tahun?
Innalillaahi WA inna ilaihi rooji'un .... Air matanya semakin banyak menetes, sanggupkah ia selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke depan, kalau 2000 tahun lagi? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan disiksa di kubur. Lalu setelah dikubur? Bukankah Akan lebih parah lagi?
Tahankah? padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi kemarin ia sudah tak tahan?

Ya Allah... Ia semakin menunduk, tangannya terangkat, keatas bahunya naik turun tak teratur.... air matanya semakin membanjiri jenggotnya

Allahumma as aluka khusnul khootimah.. berulang Kali di bacanya DOA itu hingga suaranya serak ... Dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk Yani.

Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan Bambu. Di betulkannya selimutnya. Yani terus tertidur.... tanpa tahu, betapa sang bapak sangat berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya arti sebuah kehidupan... Dan apa yang akan datang di depannya...

"Yaa Allah, letakkanlah dunia ditanganku, jangan Kau letakkan dihatiku..."

(sumber: kiriman dari seorang sahabat)

Selasa, 17 Maret 2009

Budaya Perayaan Ulang Tahun


Pengaruh akulturasi budaya yang begitu cepat merupakan sesuatu yang tidak bisa kita hindari di era globalisasi ini. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan
kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia. Banyak hasil akulturasi budaya yang kemudian mempengaruhi kehidupan kita. Salah satunya adalah budaya perayaan ulang tahun.

Saat ini perayaan ulang tahun telah menjadi tradisi yang begitu melekat dalam masyarakat kita. Bukan hanya perayaan ulang tahun seseorang saja yang sekarang ini dirayakan, ulang tahun pernikahan, ulang tahun lembaga pendidikan, ulang tahun perusahaan, ulang tahun institusi atau badan tertentu, ulang tahun kota, bahkan ulang tahun kemerdekaan semuanya diperingati. Berbagai bentuk acara dilaksanakan dalam tradisi perayaan ulang tahun ini, mulai dari tiup lilin, memotong nasi tumpeng, memotong kue ulang tahun, lomba-lomba, pesta-pesta, dan lain sebagainya.

Dalam Islam, hukum merayakan ulang tahun tidak ditemukan di dalam nash, baik yang secara langsung melarang dan juga menganjurkannya. Kita tidak menemukan riwayat yang menceritakan bahwa setiap tanggal kelahiran Rasulullah SAW, beliau merayakannya atau sekedar mengingat-ingatnya. Begitu juga para shahabat, tabiin dan para ulama salafusshalih. Kita juga tidak pernah dengar misalnya Imam Syafi’i merayakan ulang tahun lalu potong kue dan tiup lilin.

Namun, kita pun tidak bisa main vonis bahwa segala bentuk fenomena masyarakat yang tidak ada contohnya di zaman nabi menjadi haram hukumnya. Mengingat di dalam kaidah fiqih, kita justru mendapat ketentuan yang sebaliknya. Kaidah itu sangat terkenal dan menjadi ukuran dalam mengeluarkan fatwa hukum yakni al-Ashlu fil asya’ al-ibahah (Hukum dasar segala sesuatu adalah boleh). Khususnya dalam masalah sosial kemasyarakatan, atau masalah budaya, atau kebiasaan yang berkembang di suatu masyarakat, atau masalah muamalat dan seterusnya.

Hukumnya dasarnya adalah boleh, halal dan tidak ada larangan. kecuali apa yang ditentukan keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih (accurate texts and clear statements). Yang dimaksud shahih artinya sanad riwayatnya bisa diterima secara kaidah hukum kritik hadits. Sedangkan sharih artinya larangan itu bersifat tegas, eksplisit serta jelas-jelas menyebutkan bentuk perbuatan yang diharamkan. Bukan sesuatu yang masih bersifat multi tafsir atau bisa ditafsirkan ke sana kemari. Maka, jika tidak ada nash seperti itu, hukumnya kembali kepada dasarnya, yakni istishab hukmil ashl. Prinsip inilah yang bisa dipakai dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan akidah.

Kaidah hukum itu berdasarkan ayat-ayat yang jelas sharih. Firman Allah, "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu ."(Q.S. Al-Baqarah:29).

Demikian pula dalam surat Al-Jatsiyah: 13 dan Luqman: 20. Inilah bentuk rahmat Allah kepada
umat manusia dengan berlakunya syariat yang memperluas wilayah halal dan mempersempit wilayah haram, seperti ditegaskan oleh Nabi saw., "Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka ia adalah halal (hukumnya) dan apa yang Dia haramkan, maka (hukumnya) haram. Sedang apa yang Dia diamkan, maka ia adalah suatu yang dimaafkan.

Maka terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu."(H.R. Hakim & Bazzar). Rasulullah juga bersabda, "Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya; dan sesuatu yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya; dan apa yang Allah diamkan (tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang dimaafkan (dibolehkan) untuk kamu."(H.R.Tirmidzi dan Ibnu Majah). Bahkan Rasulullah saw. melarang kita mencari-cari alasan untuk mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan. Beliau
bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu, maka jangan kamu abaikan; dan telah menggariskan beberapa batasan, maka jangan kamu langgar; dan telah mengharamkan beberapa hal, maka jangan kamu terjang; serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsur kelupaan, maka jangan kamu permasalahkan."(H.R. Dar al-Quthni).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perayaan ulang tahun sesungguhnya merupakan tradisi yang ada dalam masyarakat akibat gencarnya arus globalisasi yang telah terjadi belakangan ini. Perayaan ulang tahun ini sesungguhnya tidak pernah disunnahkan untuk
dirayakan. Karena itu hukumnya tidak pernah sampai kepada sunnah apalagi wajib. Kalau pun didasarkan pada tradisi, maka paling tinggi hukumnya mubah. Namun bila memberatkan bahkan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat apalagi mengandung hal-hal yang diharamkan Allah SWT. Seperti, alkohol (baca: khamar), zina, maksiat, serta hal-hal yang memang secara prinsipil telah ditegaskan keharamannya oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. maka hukumnya menjadi haram.

Jika akhirnya harus ada perayaan ulang tahun, maka sebaiknya harus memiliki tendensi pesan berupa rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan pada kita. Tetapi jika dalam pelaksanaannya perayaan ulang tahun ini lebih kepada hal yang bersifat hura-hura dan mubadzir, maka hal demikian menurut saya adalah kesalahan memaknai rasa syukur kepada Allah. Cara yang paling tepat untuk bersyukur adalah mengundang kaum dhuafa / fakir miskin serta berdoa bersama atas segala nikmat lahir, bathin yang Allah SWT. berikan, ini yang lebih bermanfaat secara syariat. Selain itu, ulang tahun bisa juga dirayakan dengan melakukan muhasabah dan refleksi terhadap umur yang telah Allah berikan, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang lalu dengan kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang.

Jadi yang paling penting dalam menyikapi sesuatu adalah esensi niat dan praktek secara benar dari amaliah yang kita lakukan sehingga pelaksanaannya tidak menyimpang dari yang disyariatkan serta bernilai Ibadah dihadapan Allah SWT. Wallahu a’lam bisshowab.

Tak Sudah-Sudah

Ketika mendengar Syair Lagu ini ... kok menggelitik hati untuk mengabadikan dicatatanku...
yok kita baca dan dengar sama-sama, syair dari Kiai Kanjeng nya Cak Nun

Tak Sudah-Sudah

Ketika belum - Kepingin sudah
Ketika sudah - Kepingin tambah
Sesudah ditambahi - Kepingin lagi
Kepingin lagi - Lagi dan lagi

Kita berlari - memperbudak diri
Tuhan mengajarkan - yang cukupan saja
Tapi kita Tak - pernah krasan
Karena kekurangan - maunya berlebihan

Rasa kurang - tak berpenghabisan
Kepada dunia - tak pernah kenyang
Itulah api - yang menghanguskan
Itulah nafsu - Lambang kebodohan

Hanya pada Tuhan - Kita slalu kurang
Hati belingsatan - Kangen tak karuan

Kepada cinta-Mu - Aku kelaparan
Apapun ongkosnya - Kubayar sukarela

Tak sudah - sudah
Kok belum saja
Kok terus saja



Apakah sifat manusia memang seperti itu....
Hanya kita dan tuhan yang mampu menjawabnya......

Senin, 16 Maret 2009

Jangan Bersedih

Tidak ada orang yang tidak pernah bersedih di dunia ini. Kesedihan itu nampaknya sangat dekat dengan kehidupan yang fanah ini. Kita bersedih mungkin masalah anak kita. Kita bersedih karena masalah harta kita, ada yang hilang atau rusak. Kita juga bersedih karena kematian anggota keluarga kita, sang kekasih, suami istri, anak, orangtua, kakek/nenek dan sebagainya. Kesedihan pun sering terjadi karena ujian tidak lulus, tidak lulus ujian untuk memperoleh sertifikasi, lesen untuk drive dan sebagainya. Singkat kata kesedihan itu memang pasti kita alami.

Tetapi mungkin kita boleh bersepakat bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal. Karena itu kesedihan itu terkadang diganti dengan kegembiraan. Sebaliknya kegembiraan akan diganti dengan kesedihan lagi. Pada saat menunggu kelahiran anak kita yang masih di dalam kandungan istri kita tegang, stress dan semua tidak enak. Pada saat berikutnya kita gembira karena anak yang ditunggu-tunggu lahir dengan selamat. Tetapi tak lama setelah itu kita pun kembali bersedih karena mertua kita, orang yang pernah melahirkan orang yang kita cintai telah mendahului kita. Begitulah kejadian dalam hidup kita ini, sampai kita tiada lagi. Tetapi sebetulnya kita tidak pantas bersedih.

Pembaca kita tidak pantas bersedih, karena kesedihan itu akan membuat harta yang tersimpan di lemari-lemari Anda yang indah, di istana-istana Anda yang megah, dan di dalam kebun-kebun Anda yang hijau itu hanya akan menambah kecemasan dan kesedihan Anda saja

Kita jangan bersedih, karena kesedihan itu akan membuat obat yang diberikan dokter, dijual di apotik, dan diagnosa seorang dokter tidak akan pernah membahagiakan diri Anda. Apalagi bila anda masih menanamkan kesedihan dalam hati, menggantungkan kesedihan di dalam kedua kelopak mata, membiarkan diri Anda untuk dimasuki kesedihan itu, dan menyusupkannya di bawah kulit, maka semuanya itu akan sia-sia.

Kita tidak perlu bersedih, karena Anda masih memiliki do’a. Anda boleh bersimpuh di depan pintu-pintu Tuhan Yang Maha Kuasa, dan Anda dapat memperoleh ketenangan di depan pintu-pintu Sang Raja Diraja. Anda juga masih memiliki waktu sepertiga akhir malam dan masih menempelkan dahi ke tanah, bersujud.

Semestinya kita tidak perlu bersedih, karena Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya, telah menumbuhkan taman-taman yang memberikan pemandangan indah, kebun-kebun yang berisi tumbuh-tumbuhan yang indah dan rimbun untukmu, kurma-kurma yang tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun, bintang-bintang bercahaya, hutan belantara, dan sungai-sungai.

Mengapa kita harus bersedih, karena Anda masih dapat minum air yang jernih, menghirup udara yang segar, berjalan di atas kedua kaki tanpa menggunakan alas kaki, dan Anda masih dapat tidur nyenyak pada malam hari.

Untuk itu mari kita perbanyaklah membaca istighfar agar anda menemukan jalan keluar, mendapatkan ketenangan batin, harta yang halal, dan keluarga yang shalih. Sabda Nabi: “Barang siapa yang memperbanyak istighfar, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar untuk setiap kecemasan dan akan membukakan pintu keluar dari setiap kesempitan”

Rujukan dari Laa tahzan, Dr. Aidh alqarny


Sebuah syair dari Emha:

jangan bersedih duhai kekasih
daku pahami hatimu yang perih
hadapilah dengan jernih
berhentilah merintih-rintih
pandangilah luasnya bumi
serta cerahnya matahari
Tuhan selalu merahmati
burung pun turun menari-nari

kukagumi paras cantikmu
kurasakan tulus hatimu
awan yang gelap akan berlalu
langit hidupmu cerah membiru

la tahzanu ya habibii
inni syahid bil mihnati
la tahzanu ya habibi
inni syahid bil mihnati
ajaluna mahdudati
wa liqauna fil jannati
ajaluna mahdudati
wa liqauna fil jannati

kukagumi paras cantikmu
kurasakan tulus hatimu
awan yang gelap akan berlalu
langit hidupmu cerah membiru

Download mp3 Jangan Bersedih

Jumat, 13 Maret 2009

Tidak Cukup Hanya Menangisi

Kehilangan memang menyakitkan. Apapun yang terlepas, baik dalam kontek pribadi atau yang lebih luas, tentu rasanya menyedihkan. Karena apa yang kita miliki lekat sebagai bagian dari hidup kita.

Sangat wajar kalau kemudia ada tangis, minimal kesedihan yang menggumpal di dada. Mungkin tangis ini bisa meringankan sebagian beban hati. Boleh jadi air matapun bisa membasahi panas hati yang terasa tak menentu. Namun tangis saja tidaklah cukup. Mesti ada tindakan lain yang kita lakukan ketika didesa kehilangan. Beberapa laternatif yang mungkin bisa menjadi solusi:

1. Ingat kembali sebab kehilangan kita

Mungki perlu waktu sejenak untuk mengais masa lalu, untuk mengetahui sebab-sebab kehilangan. apakah karena kecerobohan, atau kelalaian kita. Atau karena terlalu kuatnya sisi eksternal yang membuat kita "tidak berdaya". Terlalu banyak yang merusak daripada yang membangun. Apalagi kalau yang membangun hanya kita sendirian sementara yang merusah berjumlah seribu.
Dengan melihat sebab kehilangan, kita bisa menemukan 'obat' penawarnya. Bak seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya, yang mencoba mencari sebab pengganggu kesehatan, untuk memberikan obat yang sesuai.
Kalau dulu kita kehilangan karena kurang perhatian atau masih ceroboh, kini kita harus lebih waspada. Kalau kehilangan itu karena kita meletakkannya ditempat yang rawan, maka jauhi tempat itu. Jika kita harus berada ditempat itu maka kewaspadaan mesti kita lipat gandakan.


2. Bangkitkan kenangan, dimana dulu kita mendapatkan

Setiap kita pasti mempunyai kenangan yang baik. kenangan pada seseorang, kenangan pada tempat, kenangan pada suasana. Kenangan itu masih terekam dalam ingatan, bahkan mungkin sulit terhapus oleh pergantian hari.

Namun ada kalanya sebagian hidup kita terasa telah hilang. Boleh jadi kemesraan keluarga yang dulu ada kini entah kemana perginya. Maka perlu kita 'datangi' kembali tempat-tempat pertama kami kita mengukir kemesraan itu. Ini hanyalah sebagian cara untuk membangkitkan kembali kebaikan yang dulu pernah kita lakukan.

Boleh jadi dulu kita sering melakukan sholat dan puasa sunnah, namun karena kesibukan kini sulit untuk kita lakukan.

Mari kita mencoba kembali kebelakang beberapa saat, untuk membangkitkan kenangan bahwa dulu kita pernah mengukir kebaikan-kebaikan, dengan harapan, kenangan itu menjadi pemicu bangkitnya naluri kita untuk kembali berbuat kebaikan yang mungkin hampir punah.


3. Jadikan orang sekeliling kita sebagai pengontrol

Kehilangan bisa jadi muncul akibat kita tidak sanggup menjaganya. Kalau demikian adanya, tentu kita harus membuat kontrol-kontrol diri yang akan menjaga semua yang kita miliki. Kita bisa menjadikan orang-orang disekeliling kita menjadi pengontrol pagi perjalanan kita

Teman merupakan 'partner' yang semestinya bisa memberikan kontrol positif. Tanpa itu, persahabatan tidaklah banyak berarti. Dan dari mereka kita bisa mendapatkan masukan, nasehat, peringatan dan teguran. Ini semua merupakan pengawas dan penyeimbang langkah.

Selain teman, musuhpun bisa menjadi pengontrol langkah kita. Karena musuh selalu mencari kelemahan kita. Dengan demikian sebenarnya kita secara cuma-cuma sedang menuai kritik, yang boleh jadi sebagian atau keseluruhannya ternyata bernuansa positif.

Seorang ulama salaf berkata, ' kenikmatan dan orang orang iri selalu beriringan. jika ada kenikmatan disana pasti ada orang yang iri. maka jika tidak ada orang yang iri kepada anda berarti anda telah kehilangan banyak kebaikan dalam hidup'

Kontrol inilah yang akan menjada kita dari kehilangan untuk kedua kalinya. Kontrol ini lah yang mengingatkan dan mencegah agar kita tidak bersedih dan menangis untuk kasus kehilangan yang sama. Jadikan teman, lawan dan catatan sejarah sebagai cermin yang bening, tempat dimana kita dapat melihat paya yang hilang dari kita

4. Cari kembali mutiara yang hilang

Tidak ada kata terlambat. karena 'mutiara' itu mungkin hanya terselip dari pandangan mata kita. Mungkin kita hanya butuh sedikit lelah fisik dan lelah hati, kemudian 'mutiara' itu akan berada ditangan kita kembali. ada rasa kebahagiaan yang tidak terlukiskan, bahkan mungkin akan lebih bahagia dibandingkan ketika kita memegangnya pertama kali.

Tiga sahabat yang dihukum karena tidak ikut perang Tambuk sangat tersiksa karena tidak disapa oleh sahabat-sahabatnya sebagai konsekwensi hukuman. Hal ini tidaklah mudah, terlebih ada tawaran musuh untuk meninggalkan sahabatnya itu dengan tawaran menggiurkan.

Karena ketaatan, tawaran tersebut di tolak, dan ketika wahyu sebagai tanda ampunan tirun, mereka seakan mendapatkan nyawa baru. Sebelum peristiwa hukuman itu, mereka sering disapa sahabatnya, dan hal ini adalah sesuatu yang biasa, namun setelah peristiwa itu, sapaan sahabat jadi sangat berarti, seakan mereka hidup kembali setelah terasing sekian lama.

5. Tawakal

Ketika kita mulai khawatir akan kehilangan sesuatu, maka segeralah berdialog kepada Allah agar dia menjaga kita dan apa-apa yang kita takutkan akan hilang.

Meminta tolong dan menggantungkan harapan kepada sesama manusia, seringkali tidak mendatangkan solusi, Bahkan bisa menyesatkan. Berpindah kepada Allah yang maha mengetahui kepada perginya yang hilang dan 'tempat menitip' yang paling amankaren apa yang kita miliki tidak mungkin rusak dan hilang.

Kamis, 12 Maret 2009

Alqur'an di Tengah Karpet

"Ibu Guru ada Qur'an, Ibu Guru akan letakkannya di tengah karpet. Sekarang
anda berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya
mengambil Qur'an yang ada ditengah tanpa memijak karpet?"
Murid-muridnya berpikir.
Ada yang mencuba alternatif dengan tongkat, dan
lain-lain.

Akhirnya Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia
ambil Qur'an. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet .
"Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. ..
Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak anda dengan terang-terang.
..Karena tentu anda akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun
tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tapi mereka akan
menggulung anda perlahan-lahan dari pinggir, sehingga anda tidak sadar.

"Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibuat pondasi yang
kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang
kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau
dimulai dgn pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan
dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, Almari dibuang dulu satu
persatu, baru rumah dihancurkan. ..."

"Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan
menghantam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan meletihkan
anda. Mulai dari perangai anda, cara hidup, pakaian dan lain-lain,
sehingga meskipun anda muslim, tapi anda telah meninggalkan ajaran
Islam dan mengikuti cara yang mereka... Dan itulah yang mereka
inginkan." "Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (Perang
Pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kita... "

"Kenapa mereka tidak berani terang-terang menginjak-injak Ibu Guru?" tanya
murid- murid. "Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang,
misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang
tidak lagi." "Begitulah Islam... Kalau diserang perlahan-lahan,
mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tapi kalau diserang
serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka
akan sadar".

Kapur dan Alat Pemadam

Seorang guru wanita sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada
murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya
ada kapur, di tangan kanannya ada pemadam. Guru itu berkata, "Saya
ada satu permainan... Caranya begini, ditangan kiri saya ada kapur,
di tangan kanan ada pemadam. Jika saya angkat kapur ini, maka
berserulah "Kapur!", jika saya angkat pemadam ini, maka katalah "Pemadam!"

Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Guru berganti-gantian
mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin
cepat. Beberapa saat kemudian guru kembali berkata, "Baik sekarang
perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka sebutlah "Pemadam!", jika
saya angkat pemadam, maka katakanlah "Kapur!". Dan diulangkan seperti
tadi, tentu saja murid-murid tadi keliru dan kikuk, dan sangat sukar
untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak
lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti.

Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya. "Murid-murid, begitulah
kita umat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil.
Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh musuh kita
memaksakan kepada kita dengan berbagai cara, untuk menukarkan
sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama
mungkin akan sukar bagi kita menerima hal tersebut, tapi kerana terus
disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya
lambat laun kamu akan terbiasa dengan hal itu. Dan anda mulai dapat
mengikutinya. Musuh-musuh kamu tidak pernah berhenti membalik dan
menukar nilai dan etika.

"Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang aneh,
Zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang
lumrah, tanpa rasa malu, sex sebelum nikah menjadi suatu kebiasaan
dan trend, hiburan yang asyik dan panjang sehingga melupakan yang
wajib adalah biasa, materialistik kini menjadi suatu
gaya hidup dan
lain lain." "Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, anda
sedikit demi sedikit menerimanya tanpa rasa ia satu kesalahan dan
kemaksiatan.

Selasa, 10 Maret 2009

Rasa Malu


Rasa Malu adalah perhiasan keindahan dan perhiasan kesempurnaan. Seseorang yang pemalu terhormat dalam pandangan manusia. Dia akan dihargai dan dimuliakan. Seorang Pemalu bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai maka ia palingkan pandangannya. Apabila melihat suatu kebaikan ia segera menerima dan menyambutnya tapi jika ia melihat kejahatan (keburukan) ia menjauhinya.

Dia menolak kezaliman dan pelanggaran, dan dia selalu waspada terhadap kefasikan dan kedurhakaan.

Bila berbicara dengan orang dia seolah olah takut salah dan menjauhi semua larangan Allah.

Barang siapa yang kurang malunya maka kurang imannya dan kurang pula yang menyukainya.

Rasulullah SAW Bersabda:
"Apabila kamu tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu"

(Abdul aziz Salim Basyarahil)

Senin, 09 Maret 2009

Maafkan dan lupakan !

Ini sebuah kisah tentang dua orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Ditengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya. Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : HARI INI, SAHABAT TERBAIK KU MENAMPAR PIPIKU.

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuat batu HARI INI, SAHABAT TERBAIK KU MENYELAMATKAN NYAWAKU.

Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya, "Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu ?" Temannya sambil tersenyum menjawab, "Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya diatas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya diatas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin."

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang yang berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu. Belajarlah menulis diatas pasir.

Minggu, 08 Maret 2009

Sederhana dan Berlebihan

Sikap sederhana, ternyata tidak sederhana. Sikap hidup sederhana tidak sesederhana menasehatkannya. Buktinya, meskipun dari dulu dikampanyekan, belum terlihat ada pendukungnya, kecuali dari kalangan mereka yang memang kesederhanaan sudah menjadi keniscayaan mereka

Sikap sederhana, sedang atau bersahaja adalah sikap tengah yang sangat dianjurkan oleh Islam. Kebalikannya adalah sikap berlebih-lebihan. Berlebih-lebihan dalam hal apa saja dikecam tidak hanya oleh agama.

Mulai dari makan dan minum, Allah melarang kita berlebih-lebihan. “Yaa banii Aadama khudzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidin wakuluu wasyrabuu walaa tusrifuu, innahu laa yuhibbul musrifiin” (QS. al-A’raf 6: 31), “Wahai anak-cucu Adam, pakailah busana indahmu di setiap masjid (ketika akan shalat, thawaf, atau ibadah-ibadah yang lain); makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai mereka yang berlebih-lebihan.” Bahkan, bersedekah pun kita tidak boleh berlebih-lebihan (Baca QS. 6: 141)

Dalam surah al-Isra ayat 29, secara metaforik yang indah, Allah memberi pedoman sikap tengah-tengah yang tidak berlebihan di dalam menyikapi harta, tidak bakhil dan tidak boros. Firman-Nya:“Walaa taj’al yadaaka maghluulatan ilaa ‘unuqika walaa tabsuth-haa kullal basthi fataq’udaa maluuman mahsuuraa.” (Dan janganlah jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan terlalu membebernya, nanti kamu dicela dan menyesal).

Kita tidak boleh bakhil, berlebih-lebihan menyayangi harta dan tidak boleh tabdziir, berlebih-lebihan dalam mentasarufkan sesuatu. Tabdziir yang dilarang dan pelakunya disebut sebagai ‘kawan-kawannya para setan’ (QS. 17: 27), biasanya hanya diartikan sebagai berlebih-lebihan mentasarufkan uang atau menghambur-hamburkan uang. Sehingga, sering kali kita saksikan banyak dari kalangan kaum Muslim yang dalam hal uang tidak tabdziir, tapi tanpa sadar suka menghambur-hamburkan air ketika berwudhu, misalnya. Atau, menghambur-hamburkan energi listrik, setiap hari. (Boleh jadi, karena santernya isu krisis energi di dunia saja yang mulai menyadarkan kita akan perlunya bersikap tidak berlebih-lebihan dalam hal ini).

Dalam beragama pun, kita tidak boleh berlebih-lebihan, melampaui batas. Dalam surah al-Maidah ayat 87, Allah berfirman kepada kaum beriman: “Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallaLlahu lakum walaa ta’taduu, innallaha laa yuhibbul mu’tadiin” (Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas).

Dalam berjuang fii sabiilillah juga demikian. “Waqaatiluu fii sabiiliLlahi alladziina yuqaatiluunakum walaa ta’taduu, innaLlaha laa yuhibbul mu’tadiin.” (QS. 2: 190) “Dan perangilah-di jalan Allah-mereka yang memerangimu dan jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas).

Demikianlah, apabila kita perhatikan firman-firman Allah dan sabda-sabda serta contoh tauladan Rasulullah SAW, jelas sekali bahwa sikap berlebih-lebihan dalam apa saja-termasuk dalam beribadah-sangat dilarang. Berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam banyak hal terbukti sering menimbulkan masalah. Menyukai dunia dan materi berlebihan telah terbukti menjerumuskan banyak kaum dalam bencana. Menyintai dan membenci orang berlebihan telah terbukti banyak menimbulkan problem kemasyarakatan.

Dari sisi lain, orang yang berlebihan, sulit dibayangkan bisa berlaku adil dan istiqamah. Dua hal yang menjadi kunci kebahagian dan kedamaian dunia akhirat.

Sumber : http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=10&id=843

Keluarga Harmonis

Rasa kecewa dan tak puas bisa menghadapi tiap orang. Bisa perorangan, bisa juga massal. Bisa sederhana, dan bisa dahsyat. Kekecewaan memang dapat berakibat macam-macam, dengan kadar berbeda. Kekecewaan yang memupuk akan berakibat fatal. Apalagi, jika tak hanya melanda perorangan

Seorang ayah akan kecewa jika melihat anaknya tak menuruti nasihatnya. Sebaliknya, sang anak kecewa terhadap ayahnya karena tak mengerti kemauannya. Jika berlarut, bisa jadi hubungan kasih sayang ayah-anak terlupakan. Keduanya pun bisa bermusuhan.

Ada anak kecewa terhadap orangtuanya karena permintaan-nya tak dipenuhi. Padahal, boleh jadi bukan materi permintaannya yang ditolak. Tapi, waktunya yang tak tepat. Sebaliknya, ada orangtua yang begitu mendengar permintaan anaknya, langsung marah. Padahal, ia sebetulnya tetap akan mengabulkan permintaan anaknya. Kemarahannya itu hanya karena memang jiwa sang ayah begitu.

Contoh tersebut, memang sekedar karikatur keluarga kurang harmonis. Keluarga harmonis adalah keluarga yang hidup damai. Seluruh anggota saling menyayangi dan menghargai. Suka dan duka dihadapi bersama dengan penuh ketulusan.

Itu dalam lingkungan kecil. Dalam lingkup luas, tentu tak sesederhana itu. Dalam hidup bernegara dan berbangsa, persoalannya lebih kompleks. Seperti contoh tadi, kita bisa menganalogikan negara dengan rumah; berbangsa dengan berkeluarga; pemerintah dengan orangtua; dan sekelompok masyarakat dengan anak. Namun, tetap saja kita akan menghadapi hal-hal yang tak sederhana.

Sebagai keluarga besar, perbedaan yang menyangkut kepentingan, sikap, dan pikiran pasti besar pula. Bisakah kita, seperti semboyan kita, tetap satu dalam perbedaan? Ataukah kita sudah sulit kembali menjadi manusia biasa yang bersaudara sebangsa, karena kepentingan kita sudah terlanjur menjadi jauh lebih penting daripada kepentingan bersama? Atau, kita sudah terlalu mendewakan harga diri sendiri?

Betapapun berat, kita tentu mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis, tata tentrem kerta raharja laiknya keluarga idaman. Untuk itu, sebenarnya kita mempunyai modal andal berupa falsafah Pancasila. Sayang, kita hanya mewiridkannya seperti menco saja.

Selain penghayatan dan pengalaman yang konsekuen terhadap Pancasila, ada hal penting yang perlu dibudayakan dalam kehidupan, yaitu sikap jujur dan adil. Kata adil, berasal dari bahasa Arab, ‘adl, yang berarti lurus’, atau jejeg dalam bahasa Jawa. Menurut istilah santri: ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’. Kebalikan zalim (dhulm) yang berarti ‘meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya’. Jadi, adil yang dimaksud mencakup segala pengertian, baik sikap maupun cara berpikir.

Sikap dan cara berpikir adil lebih mudah difatwakan ketimbang diamalkan. Soalnya, meski dianugerahi akal dan nurani, kita dilengkapi ‘athifah, kita menyukai dan membenci. Sedang adil menurut jejeg, tak condong ke sana-ke mari. Memang sulit, apalagi bila nafsu ikut mendorong ‘athifah.

Namun, betapapun sulit, sikap dan cara berpikir adil penting “dibudayakan”. Terutama, di kalangan Muslim. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang menandaskan pentingnya “adil” ini.

Dalam Surat Al-Maidah: 9, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak (kebenaran/ keadilan) karena Allah; (dan bila menjadi saksi) jadilah saksi-saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum menjerumuskan kalian untuk bersikap tidak adil. Bersikap adillah; adil itu lebih dekat kepada taqwa….” (Menurut banyak musafir, “kaum” berarti orang-orang kafir. Cermati makna ini).

Yang menarik, dalam Surat An-Nisa’: 135, Allah memulai firman-Nya dengan redaksi yang hampir sama, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak (kebenaran) yang adil (Al-Qur’an dan terjemahannya mengartikan, ‘jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan’), jadilah saksi-saksi karena Allah sekalian terhadap diri kalian sendiri atau terhadap kedua orangtua dan kaum kerabat kalian. Jika yang bersangkutan kaya atau miskin, maka Allah lebih mengetahui keadaannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu untuk menyeleweng (dari kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (ucapan) atau enggan (menjadi saksi), maka sungguh Allah terhadap apa yang kalian lakukan adalah Maha Mengetahui.” (Perhatikan: bersaksi terhadap orang lain galibnya lebih mudah).

Karena pentingnya sifat ini, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz mentradisikan dalam setiap khotbah Jum’at agar dibacakan ayat, Innallaha yamuru bil ‘adli wal ihsaan…”

Untuk bersikap dan berpikir adil, diperlukan latihan hidup sederhana. Juga kejujuran. Jujur kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain. Orang tak jujur, sulit dibayangkan berlaku adil. Sementara, jujur itu sendiri memerlukan keberanian, terutama buat mengakui kesalahan. Ini semua memerlukan latihan.

source: http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=365

Agar Mudah Naik Jabatan

Sudah termasuk senior di kantor tapi sulit naik jabatan? Mungkinkah anda punya kebiasaan buruk yang menghalangi karir anda? Berikut kebiasaan yang bisa mengganggu kesuksesan karir anda.

1. Gaya hidup tidak sehat

Merokok, hobi mabuk-mabukan, serta kebiasaan makan secara berlebihan termasuk dalam gaya hidup yang bisa merugikan karir. Apa pasal? Sekarang perusahaan lebih memilih karyawan yang sehat jiwa dan badannya karena bisa menghemat anggaran kesehatan perusahaan.

2. Suka ngambek

Gampang ngambek, apalagi tanpa alasan yang jelas, menunjukkan bahwa sebenarnya anda belum dewasa dan belum siap memasuki dunia kerja. Jadi, meski atasan kerap membuat anda kesal, tahan diri untuk tidak bersikap emosional. Bila ada kesempatan yang tepat, anda bisa mengungkapkan perasaan dengan cara yang bijak sehingga anda tetap dinilai profesional.

3. Ngaret

Jauhkan sikap tidak disiplin dari kamus anda. Berusahalah untuk menepati hal-hal yang sudah disepakati bersama, misalnya jam masuk kerja, waktu rapat, termasuk juga saat menyerahkan laporan pekerjaan. Sikap disiplin mencerminkan komitmen yang tinggi dan tanggung jawab.

4. Malas membaca koran

Padahal, dengan mengetahui isu-isu terbaru yang sedang hangat, wawasan anda akan bertambah. Keputusan dan kebijakan perusahaan juga kerap dibuat berdasarkan fenomena yang sedang terjadi di masyarakat, seperti kenaikan BBM misalnya.

5. Malas bergaul

Meski tumpukan pekerjaan menghadang luangkanlah waktu untuk bergaul dan bersosialisasi. Berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan akan menambah jejaring yang pastinya akan berguna bagi pekerjaan

Perempuan dan Kesalehan

Akhir-akhir ini ada “tren” baru di kalangan ummat Islam: mencantumkan nukilan terjemahan ayat 21 Surat Ar-Ruum di undangan perkawinan.

Terjemahan yang dipakai adalah terjemahan Depag, yang berbunyi, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu “istri-istri” (tanda petik dari saya) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Pilihan arti “istri-istri” untuk lafal azwaajan ayat tersebut bisa menimbulkan pertanyaan, terutama bagi mereka yang suka “mencari-cari”. Misalnya, apakah ayat ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki? Salah-salah ini bisa menambah “kecemburuan” kaum “feminism”, karena disini bisa mengandung “dominasi” laki-laki. Berbeda jika azwaajan diartikan ‘jodoh-jodoh’ atau ‘pasangan’ sebagaimana terjemahan banyak tafsir.

Kecuali yang khusus-khusus sebagaimana yang ditujukan, misalnya, kepada Nabi saw, istri-istri Nabi saw, dan orang-orang kafir, umumnya khitab Al-Qur’an memang ditujukan kepada kita semua (an-nas) atau kaum Mukminin. Lalu, apakah tentang hak dan kewajiban umumnya Al-Qur’an (Allah) tidak membedakan antara manusia laki-laki dan perempuan, juga antara Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan? (Lihat, misalnya: Q.s. 2: 285; 4: 32; 33: 35-6)

Khusus dalam hal kesalehan – yang menjadi prasyarat kebahagiaan abadi orang Mukmin – Al-Qur’an bahkan menegaskan tiadanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu (lihat, misalnya: Q.s. 3: 195; 4: 124; 16: 97; 40:40).

Laki-laki berbeda dengan perempuan karena memang dari sono-nya berbeda. Artinya, Allah memang menciptakan mereka berbeda. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah perbedaan fitri (Q.s. 49: 13; 92: 3; 42: 49 – 50). Dari sinilah kiranya sumber perbedaan-perbedaan yang ada antara keduanya. Lalu, apakah perlu dipertentangkan atau dipermasalahkan?

Allah-lah yang menciptakan manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Dia pulalah yang – tentu saja lebih tahu – mengatur penghambaan mereka sesuai kodrat masing-masing. Orang saleh adalah hamba Allah, baik laki-laki maupun perempuan, yang dalam kehidupannya mengikuti aturan Tuhannya sesuai dengan kodratnya.

Terhadap seorang laki-laki-perempuan ini, kita melihat, ada dua sikap yang sama-sama ekstrim: pihak yang dengan ekstrem menafikan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terkesan pengingkaran terhadap fitrah, dan pihak yang dengan ekstrem membedakan antara keduanya hampir di segala hal.

Penafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan – seiring kemajuan maaddiyah yang memang luar biasa – dapat (dan ternyata telah) mengakibatkan masalah-masalah kemasyarakatan yang dasyat. Hubungan pria dan wanita dan orang tua – anak mengalami krisis berlarut-larut. Lembaga keluarga berantakan. Tata moral jungkir balik. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kita, misalnya, bisa melihat wanita-wanita masa kini melarikan diri dari kedudukannya yang mulia, yakni sebagai ibu, pusat kasih sayang dari mana dunia mendapatkan ketentraman. Bahkan dari kodratnya. Mereka berdalih – atau terbius – oleh slogan “kemajuan” (yang sering justru ciptaan kaum laki-laki), seperti emansipasi wanita dan feminisme (yang sering dikaburkan artinya) sebagai pembebasan atau persamaan hak tanpa melihat perbedaan fitrah.

Julukan terhormat ”ibu rumah tangga” justru membuat mereka tersipu-sipu. Malu. Al-Qur’an Surat 33 ayat 33, yang umumnya secara sempit diartikan sebagai larangan keluar rumah bagi perempuan, dianggap tidak “menzaman” dan perlu diberi takwil atau penjelasan tambahan pengecualian. Mereka lupa, dari rumah tanggalah dan sebagai ibu rumah tanggalah mereka mendidik dan membentuk – dengan kasih-sayang – generasi bangsa.

Sementara itu, “pembedaan yang ekstrem” antara pria dan wanita (biasanya juga muncul dari pihak pria) juga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang umumnya diawali dengan kerugian di pihak wanita.

Dengan dalih perbedaan fitri, atau semata-mata karena merasa lebih dominant, sering kaum laki-laki seenaknya sendiri membatasi – atau minimal tak menghormati – hak-hak kaum wanita.

Maka, dengan alasan yang berbeda, tak jarang pula ada wanita lari dari maqam-nya yang terhormat: yakni sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan kaum pria.

Wanita Muslim, seperti juga pria Muslim, mempunyai miqyas, ukuran kepatutannya sendiri sesuai dengan pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila muslimat – juga muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila Muslimat – juga Muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman dan miqyas-nya sendiri, atau ia terlalu rapuh atau silau menghadapi kemilau pedoman dan miqyas “orang lain”.
Untuk menghadapi itu semua, tentu saja ia harus kembali kepada pedomannya sendiri. Kembali mengkaji sampai mendapatkan cukup kekuatan untuk tidak saja menggunakannya, tapi juga untuk menepis tawaran menggiurkan pedoman-pedoman lain yang justru berakibat malapetaka di kemudian hari.

Akhirnya, kiranya perlu kita simak lagi firman Allah dalam kitab suci-Nya, “Wahai segenap manusia, sungguh Aku telah menciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu semua saling mengenal; sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu semua di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Awas.” (Q.s. 49: 13).



http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=350

Lencana Facebook

Motifasi

Sesuatu yang indah adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada orang lain....