Selasa, 17 Maret 2009

Budaya Perayaan Ulang Tahun


Pengaruh akulturasi budaya yang begitu cepat merupakan sesuatu yang tidak bisa kita hindari di era globalisasi ini. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan
kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia. Banyak hasil akulturasi budaya yang kemudian mempengaruhi kehidupan kita. Salah satunya adalah budaya perayaan ulang tahun.

Saat ini perayaan ulang tahun telah menjadi tradisi yang begitu melekat dalam masyarakat kita. Bukan hanya perayaan ulang tahun seseorang saja yang sekarang ini dirayakan, ulang tahun pernikahan, ulang tahun lembaga pendidikan, ulang tahun perusahaan, ulang tahun institusi atau badan tertentu, ulang tahun kota, bahkan ulang tahun kemerdekaan semuanya diperingati. Berbagai bentuk acara dilaksanakan dalam tradisi perayaan ulang tahun ini, mulai dari tiup lilin, memotong nasi tumpeng, memotong kue ulang tahun, lomba-lomba, pesta-pesta, dan lain sebagainya.

Dalam Islam, hukum merayakan ulang tahun tidak ditemukan di dalam nash, baik yang secara langsung melarang dan juga menganjurkannya. Kita tidak menemukan riwayat yang menceritakan bahwa setiap tanggal kelahiran Rasulullah SAW, beliau merayakannya atau sekedar mengingat-ingatnya. Begitu juga para shahabat, tabiin dan para ulama salafusshalih. Kita juga tidak pernah dengar misalnya Imam Syafi’i merayakan ulang tahun lalu potong kue dan tiup lilin.

Namun, kita pun tidak bisa main vonis bahwa segala bentuk fenomena masyarakat yang tidak ada contohnya di zaman nabi menjadi haram hukumnya. Mengingat di dalam kaidah fiqih, kita justru mendapat ketentuan yang sebaliknya. Kaidah itu sangat terkenal dan menjadi ukuran dalam mengeluarkan fatwa hukum yakni al-Ashlu fil asya’ al-ibahah (Hukum dasar segala sesuatu adalah boleh). Khususnya dalam masalah sosial kemasyarakatan, atau masalah budaya, atau kebiasaan yang berkembang di suatu masyarakat, atau masalah muamalat dan seterusnya.

Hukumnya dasarnya adalah boleh, halal dan tidak ada larangan. kecuali apa yang ditentukan keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih (accurate texts and clear statements). Yang dimaksud shahih artinya sanad riwayatnya bisa diterima secara kaidah hukum kritik hadits. Sedangkan sharih artinya larangan itu bersifat tegas, eksplisit serta jelas-jelas menyebutkan bentuk perbuatan yang diharamkan. Bukan sesuatu yang masih bersifat multi tafsir atau bisa ditafsirkan ke sana kemari. Maka, jika tidak ada nash seperti itu, hukumnya kembali kepada dasarnya, yakni istishab hukmil ashl. Prinsip inilah yang bisa dipakai dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan akidah.

Kaidah hukum itu berdasarkan ayat-ayat yang jelas sharih. Firman Allah, "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu ."(Q.S. Al-Baqarah:29).

Demikian pula dalam surat Al-Jatsiyah: 13 dan Luqman: 20. Inilah bentuk rahmat Allah kepada
umat manusia dengan berlakunya syariat yang memperluas wilayah halal dan mempersempit wilayah haram, seperti ditegaskan oleh Nabi saw., "Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka ia adalah halal (hukumnya) dan apa yang Dia haramkan, maka (hukumnya) haram. Sedang apa yang Dia diamkan, maka ia adalah suatu yang dimaafkan.

Maka terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu."(H.R. Hakim & Bazzar). Rasulullah juga bersabda, "Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya; dan sesuatu yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya; dan apa yang Allah diamkan (tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang dimaafkan (dibolehkan) untuk kamu."(H.R.Tirmidzi dan Ibnu Majah). Bahkan Rasulullah saw. melarang kita mencari-cari alasan untuk mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan. Beliau
bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu, maka jangan kamu abaikan; dan telah menggariskan beberapa batasan, maka jangan kamu langgar; dan telah mengharamkan beberapa hal, maka jangan kamu terjang; serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsur kelupaan, maka jangan kamu permasalahkan."(H.R. Dar al-Quthni).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perayaan ulang tahun sesungguhnya merupakan tradisi yang ada dalam masyarakat akibat gencarnya arus globalisasi yang telah terjadi belakangan ini. Perayaan ulang tahun ini sesungguhnya tidak pernah disunnahkan untuk
dirayakan. Karena itu hukumnya tidak pernah sampai kepada sunnah apalagi wajib. Kalau pun didasarkan pada tradisi, maka paling tinggi hukumnya mubah. Namun bila memberatkan bahkan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat apalagi mengandung hal-hal yang diharamkan Allah SWT. Seperti, alkohol (baca: khamar), zina, maksiat, serta hal-hal yang memang secara prinsipil telah ditegaskan keharamannya oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. maka hukumnya menjadi haram.

Jika akhirnya harus ada perayaan ulang tahun, maka sebaiknya harus memiliki tendensi pesan berupa rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan pada kita. Tetapi jika dalam pelaksanaannya perayaan ulang tahun ini lebih kepada hal yang bersifat hura-hura dan mubadzir, maka hal demikian menurut saya adalah kesalahan memaknai rasa syukur kepada Allah. Cara yang paling tepat untuk bersyukur adalah mengundang kaum dhuafa / fakir miskin serta berdoa bersama atas segala nikmat lahir, bathin yang Allah SWT. berikan, ini yang lebih bermanfaat secara syariat. Selain itu, ulang tahun bisa juga dirayakan dengan melakukan muhasabah dan refleksi terhadap umur yang telah Allah berikan, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang lalu dengan kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang.

Jadi yang paling penting dalam menyikapi sesuatu adalah esensi niat dan praktek secara benar dari amaliah yang kita lakukan sehingga pelaksanaannya tidak menyimpang dari yang disyariatkan serta bernilai Ibadah dihadapan Allah SWT. Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Lencana Facebook

Motifasi

Sesuatu yang indah adalah ketika kita bisa memberi manfaat kepada orang lain....